Asosiasi Lingkungan dengan Coral Disease
Assalamualaikum sahabat...
Kali ini saya akan membahas hubungan antara Coral Disease dengan lingkungan, kita mengetahui bagaimana karang berinteraksi dengan lingkungannya, planula karang dan algae melakukan hubungan endosimbiosis, endosismbiosis adalah simbiosis alga yang berada pada lapisan endodermis pada karang maka dari itu dinamakan endosimbiosis. Banyak masalah disease yang terjadi pada terumbu karang, contohnya adalah Aspergilus yang menginfeksi Sea Fans juga Yellow band disease pada Montastrea spp terjadi di Karibia. Namun sebaliknya yang terjadi pada kepulauan Hawai hanya 0.5% dan rata-rata 3% sepanjang ekosistem terumbu karang. Perbedaan diantara keduanya disebabkan oleh faktor biotic dan abiotic yang berbeda diantara keduanya.
Langsung aja kita bahas faktor-faktor tersebut :
1. Temperature

Perubahan temperatur lingkungan disebabkan 'global warming' sebagai penyebab naiknya frekuensi coral disease dan kematian pada biota laut. Naiknya temperatur air menjadi variable utama terjadinya peningkatkan rata-rata coral disease. Hubungan positive antara temperatur dan coral disease di temukan pada BBD di karibia, white pox di florida, WP di Puerto Rico, White syndrome di sepanjang Great barrier reef dan DSS di kolombia. Akibat naiknya temperature juga meningkatkan pula pathogen yang membuat stress pada tubuh karang bahkan merusak imunitas karang. Teori pendukung, Muller (2008) menyebutkan bleching meningkat pada koloni Acropora palmata, menyatakan bahwa naiknya stress pada tubuh karang akan meningkatkan pula kerentanan terserang disease. Sea fan melawan temperatur hangat (31.5 derajat) dengan cara membungkus tubuhnya menjadi lebih besar.
2. Kualitas Air
Coral Disease dapat dihubungkan juga dengan kualitas perairan. Nitrogen anorganik terlarut yang tinggi di air dan penurunan kejernihan air (dapat disebabkan oleh chloropil a dan turbiditas) berkorelasi positif dengan naiknya penyakit karena Aspergilus pada sea fans. Baker (2007) menemukan hubungan yang signifikan antara level nutrien dan Aspergilus di air pada terumbu karang di laut dangkal (< 7 meter) di Florida. Dia menemukan tingkat disease dan penyakit di hubungkan dengan parameter nutrien berbeda dalam skala waktu (timeframes). Rata-rata disease meningkat seiring meningkatnya konsentrasi nitrogen, juga kerentanan meningkat seiring dengan meningkatnya nitrogen anorganik terlarut untuk seluruh rasio phospat, hubungan antara Aspergilus dengan nitrogen lebih korelatif daripada kausatif. Contohnya; jika Aspergilus sydowii (jamur pathogen yang menyebabkan Aspergilosis) masuk pada lingkungan laut melalui daratan seperti polusi, sehingga perairan pesisir membawa pathogen yang besar tergantung konsentrasi nitrogen.
Kuta dan Richardson (2002) menyatakan bahwa BBD yang tinggi terdapat di perairan dangkal, karena tempat tersebut memiliki level nitrat yang tinggi dan phospat yang rendah. Brono (2003) menemukan bahwa pengkayaan unsur hara (nutrien) meningkatkan penyakit seperti aspergillosis, YBD, pada area laut terbuka dibagian depan. Kaczmarsky (2005) memperlihatkan bahwa BBD dan WP tipe II ada di karenakan sewage (terjadi Disease pada 14% koloni yang rentan), lalu faktor ekologi seperti arus sedikit menyebabkan disease pada stasiun (4% mengalami disease) sepanjang pantai St. Croix U.S. Yang terakhir oleh Voss (2006) menggunakan manipulasi in-situ dan eksperimen di laboratorium, bahwa pengkayaan unsur hara (nutrien) meningkatkan kemajuan BBD di Karang. Dosis Nutrien untuk menginfeksi BBD di alam, sebagai kontrol (1.3 mm dengan 0.6 mm/day). Peningkatan penyakit, sress yang terjadi pada host dan rata-rata pertumbuhan menurun ketika konsentrasi nutrien (Nitrogen anorganik dan Phosporeus) dinaikkan.
3. Kedalaman
Perubahan pada kedalaman juga akan merubah faktor biotik dan abiotik seperti temperatur, kejernihan air, juga distribusi vektor berpotensi disease. Tidak ada perubahan koloni Siderastrea siderea yang dibandingkan dengan perubahan kedalaman (5-7 m vs 14 meter) di Bahamas. Porites yang tumbuh anomali secara umum banyak terdapat pada perairan dangkal reef flat dibandingkan di daerah reef slope pada Kaneohe Bay. Haapkyla (2007)memeriksa 3 area terumbu karang (flat, crest, slope) untuk mengidentifikasi coral disease di wakatobi marine park. Mereka menemukan paling banyak penyakit (tumours) di perairan dangkal pada daerah coral crest dan rata-rata persentasi dari koloni memperlihatkan tanda white syndrome paling banyak terdapat pada reef flats dari pada kedua lokasi yang lain yaitu crest dan slope.
Penulis berspekulasi bahwa spesies karang yang hidup di perairan dangkal lebih mudah terkena disease disebabkan tingginya temperatur dan pancaran cahaya (walaupun variabel tersebut tidak bisa di kuantifikasikan) akan tetapi susah untuk mengetahui distribusi spesies karang dan kerentanan mereka terhadap disease (Acropora dan Porites) menunjukkan rata-rata disease paling tinggi, akan tetapi paling berlimpah di perairan dangkal)
4. Kepadatan Vektor
Karang berinteraksi secara langsung dan tidak secara langsung (direct/indirect) dengan berbagai macam organisme terumbu karang, seperti ikan karang, dan ada interaksi yang dekat dimana asosiasi dengan terumbu karang memainkan peran penting dalam siklus coral disease. Contohnya, Karang bergenus Porites sangat rentan terhadap infeksi dari Trematoda digenetik (Podocotyloides stenometra (menyebabkan Porites trematodiaisis). Siklus hidup dari trematoda ini ada pada moluska sebagai intermediet pertama sebagai host, Porites adalah host yang kedua dan ikan yang memakan karang sebagai host yang terakhir (Aeby 1998). Kelimpahan relatif dari vektor dan host adalah yang menyebabkan disease Porites Trematodiasis.
Cacing api (fireworm) Hermodice curunculata adalah vektor pathogen penyebab coral-bleaching Vibrio shiloi (Sussman 2003), dan siput corallivorous (pemakan karang) Coralliophila abbreviata mampu menyebabkan hialngnya jaringan pada karang koloni Acropora cervicornis di Florida. Aeby (2006) menyebutkan rata-rata proses penyaluran dari BBD di Montastrea faveolata meningkat ketika adanya butterflyfish Chaetodon capistratus. Sebaliknya, Butterflyfish di Pulau Lizard, GBR dapat menghentikan proses BBD pada Acropora dengan cara menghilangkan jaringan bats yang telah terkena disease.
5. Kepadatan Host
Hubungan antara disease dan kelimpahan Host adalah hal utama pada theori disease ekologi. Rata-rata Penjangkitan disease (Plague) antara individu atau kumpulan spesies karang tidak berhungan terhadap kepadatan koloni di 3 tempat terumbu karang. Kaczmarsky (2005) melaporkan tidak ada hubungan sgnifikan antara BBD dan WP tipe II terhadap kepadatan koloni dan Raymond (2005) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara rata-rata disease dan penutupan karang hidup di Philipina tengah. Sebaliknya Korelasi positif nyata terlihat antara penutupan terumbu karang dan rata-rata disease dari BBD, YBD, dan WBD pada terumbu karang di Dubai. Bruno (2007) menyebutkan perubahan anomali temperatur permukaan laut, Penutupan karang harus memiliki rata-rata 50% atau lebih tinggi kepadatannya untuk White syndrome terjadi pada GBR.
Mereka berpendapat bahwa kepadatan host yang tinggi memiliki peran paling penting dan besar dari penyaluran disease. Aeby (2007) menemukan kurva linear hubungan antara penutupan karang dan ancaman penyakit Porites trematodias. Jumlah rata-rata polip yang terinfeksi dan penutupan karang sekitar 60%. Myers (2009) menemukan kepadatan host memiliki peran 36% dari variasi disease di sepanjang stasiun Palau, Micronesia. Penutupan karang juga berpengaruh baik secara langsung dan tidak langsung terhadap coral disease, keragaman variasi biologi dari terumbu karang berhubungan terhadap penutupan karang.
---Thanks for Reading---
Penulis : Aziz Mukhsin (Ilmu Kelautan UNSOED'11)
Pin BB : 7DFA8742
Comments
Post a Comment