Skip to main content

Ciri-ciri, Klasifikasi, Pertumbuhan, Faktor Pembatas, Reproduksi, Adaptasi Lingkungan, Kebiasaan Makan Karang Massive (Porites lutea)


Karakteristik Karang Keras Porites lutea 


Oleh : Syarif Zaky Darmawan & Diyah Fatimah Oktaviani (IKL UNSOED 2012)

Pendahuluan


Karang merupakan hewan benthos sesil, maka ekspresi hidupnya seperti laju pertumbuhan merupakan cerminan kondisi lingkungan dimana karang tersebut hidup (Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha, 2006). Terumbu karang adalah ekosistem laut tropis yang berperan penting dalam mendukung perikanan namun sangat rentan terhadap gangguan lingkungan perairan (Rani dkk, 2004). Komunitas karang masif dari famili Poritiid, Agariciid, dan Faviid yang biasa ditemukan di perairan yang mengalami kekeruhan, eutrofikasi dan bersalinitas rendah (Latypov, 2003 dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011). Menurut Tomascik et al . (1997) dalam Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha (2006) koloni massive genus Porites (seperti Porites lutea , Porites lobata) adalah karang penting dalam menyusun terumbu karang di Kepulauan Indonesia. 
Karang Porites lutea merupakan karang massif (berbentuk seperti batu) yang merupakan komponen penting penyusun terumbu karang di kawasan Indo Pasifik. Karang jenis ini sangat melimpah di perairan Indonesia (Suharsono, 1996 dalam Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha, 2006). Pertumbuhan karang memperlihatkan variasi dalam skala waktu (hari ke minggu, minggu ke bulan, musim ke tahun) ( Rani dkk, 2004). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976) dalam Rani dkk (2004) laju pertumbuhan karang masif yang berkisar 10-12 mm/tahun tergolong pertumbuhan yang maksimum. Namun, dalam pertumbuhan dan persebarannya terumbu karang memang sangat rentan terhadap gangguan lingkungan perairan seperti salinitas, cahaya, arus, kedalaman, suhu dan sedimentasi. Ketika hal tersebut terjadi, terumbu karang juga harus memilki kemampuan adaptasi untuk mengatasi perubahan yang terjadi pada habitatnya.
ISI

1. Ciri-Ciri Porites lutea
Porites lutea termasuk hermatipik bertipe massive dan sangat umum dijumpai di daerah intertidal. Porites lutea merupakan salah satu jenis hewan karang pembentuk terumbu. Kebanyakan hewan ini memiliki nematocyst. Porites lutea kebanyakan berwarna cream atau kuning tetapi kebanyakan juga yang berwarna cerah pada perairan dangkal. Habitatnya di perairan dangkal yang berkedalaman 25 meter atau kurang dari 25 meter, serta banyak ditemukan di laguna dan terumbu karang tepi (fringing reefs). Porites lutea juga biasa disebut dengan microatoll. 
Porites lutea bersimbiosis mutualisme dengan zooxanthellae atau alga simbion yang berada pada jaringan endoderm hewan karang. Antara hewan karang dengan zooxanthellae terdapat hubungan simbiotik mutualistik. Hubungan antara keduanya sedemikian eratnya sehingga sangat mempengaruhi metabolism, pertumbuhan, kemampuan membentuk kerangka kapur, pola warna dan sebaran vertikalnya (Sukarno, 1983). Jumlah zooxanthellae pada kondisi karang normal memungkinkan zooxanthellae berfungsi sebagai tolak ukur tingkat kesehatan karang yang menjadi inangnya (Suharsono, 1998).


Klasfikasi Porites lutea :

Kingdom : Animalia
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Order : Scleractinia
Family : Poritidae
Genus : Porites
Species : Porites lutea



Bentuk dasarnya seperti tabung dalam mulut berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Mulut dikelilingi tentakel yang berfungsi menangkap makanan. Mulut dilanjutkan tenggorokan yang pendek langsung berhubungan dengan rongga perut. Rongga perut berisi semacam usus yang disebut dengan mesentri filament yang berfungsi sebagai alat pencerna. Untuk tegaknya seluruh jaringan, polip didukung oleh kerangka kapur sebagai penyangga (Nontji, 1987). Selain bersimbiosis dengan zooxanthellae hewan ini juga memiliki predator tersendiri yaitu Achantaster plancii, Ikan Pemakan Terumbu dan Cacing karang serpulid (Susintowati, 2008). Karang masif Porites lutea juga merupakan indikator jenis karang yang mampu hidup di perairan keruh dan bersalinitas rendah (Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011).

2.Pertumbuhan Porites lutea
Pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang linear, bobot, volume atau luas kerangka kapur karang dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, pembentukan kerangka karang diinterpretasikan sebagai kenaikan bobot kerangka karang yang disusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonit kristal dan kalsit (Goreau dkk., 1982 dalam Rani dkk, 2004). Pertumbuhan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, sedimentasi dan aktivitas biologi (Kendall dkk., 1985 dalam Rani dkk, 2004).
Laju pertumbuhan P.lutea berkisar 5,38-17 mm/th. Karang P.lutea pada kedalaman 3 m mempunyai laju pertumbuhan berkisar 13,5–14,88 mm/th dan pada kedalaman 10 m mempunyai laju pertumbuhan berkisar 8,23–11,9 mm/th (Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha , 2006). Pertumbuhan maksimum karang biasanya terjadi di musim kemarau, yaitu bersamaan dengan peningkatan suhu perairan. Namun peningkatan suhu secara terus-menerus akan membuat pertumbuhan karang naik sampai pada titik tertentu dan kemudian menurun karena penurunan laju metabolisme dan fotosintesis zooxanthella (Tomascik dkk., 1997 dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo (2011). Pertumbuhan karang yang berada di lokasi tercemar akan berkurang karena karang harus mengalokasikan energi yang lebih banyak untuk proses adaptasi (Edmunds dan Davies, 1989 dalam Rani dkk, 2004).

3.Faktor Pembatas
Beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken, 1988), adalah :
  1. Cahaya; diperlukan untuk melakukan fotosintesis algae simbiotik dalam jaringan karang batu
  2. Suhu; pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23-250 Celcius. Akan tetapi karang juga dapat mentolerir suhu pada kisaran 20 derajat Celcius, sampai dengan 36-400 Celcius
  3. Kedalaman; pertumbuhan terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman dimana terumbu di daerah Indo-Pasifik kebanyakan tumbuh pada kedalaman 25 meter atau kurang
  4. Salinitas perairan; karang dapat hidup pada kisaran salinitas 32-35 ‰. Toleransi karang terhadap salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara 27-40 ‰
  5. Kekeruhan dan sedimentasi; kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan karang. Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula. Respon bentuk pertumbuhan karang terhadap tingkat kekeruhan berbeda-beda
  6. Arus; Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk. Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang
  7. Gelombang; merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami. Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.
Sukarno dkk., (1983) mengatakan bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-28 derajat Celcius. Levinton, (1982) menyatakan titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan. Done (1982), yang menyatakan pada terumbu yang keruh sering didominasi oleh bentuk pertumbuhan massif, yang mana untuk perairan jernih dicirikan oleh bentuk pertumbuhan bercabang, yang umumnya dari Famili Acroporiidae (Babcock and Smith, 2000). 

Letak pulau yang berdekatan dengan daratan utama dan muara Sungai merupakan alasan utama mengapa karang tidak dapat tumbuh dengan baik. Aliran muara sungai banyak membawa butiran sedimen berupa lanau dan lempung (Lamma, 2002 dalam Rani dkk, 2004). Butiran sedimen tersebut dapat mengendap dan menutupi koralit sehingga mengganggu proses makan karang. Selain itu butiran sedimen akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke perairan, tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis simbiose zooxanthella dalam karang akan berkurang dan kemudian akan mempengaruhi kemampuan karang untuk membentuk kerangka (Suharsono, 1984 dalam Rani dkk, 2004).

Pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip atau mulut karang sehingga aktifitas karang menjadi terganggu. Pengaruh tidak langsung adalah perairan menjadi keruh dan mengakibatkan turunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesa alga simbion karang, yaitu zooxanthellae, dan pengaruh langsungnya adalah banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Huston, 1985 dalam Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha , 2006).

Kondisi lingkungan yang bagus, seperti kecerahan tinggi (mencapai 100%) diduga ikut menunjang pertumbuhan karang yang baik di daerah ini. Perairan yang jernih merupakan media yang baik untuk pertumbuhan karang, penetrasi cahaya yang dapat mencapai dasar perairan akan menjamin ketersediaan cahaya matahari. Cahaya matahari yang cukup diperlukan untuk proses fotosintesis zooxanthella. Aktivitas fotosintesis yang optimal dengan sendirinya memacu pertumbuhan karang (kalsifikasi), dalam hal ini meningkat sejalan dengan penurunan konsentrasi CO2akibat proses fotosintesis tersebut (Goreau dan Goreau, 1959; Boaden dan Seed, 1985 dalam Rani dkk, 2004).
Menurut Tomascik dkk. (1997) dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo (2011) fluktuasi salinitas di daerah muara sangat terkait dengan aliran air dan curah hujan. Karang yang hidup di daerah muara dan bercurah hujan tinggi biasanya didominasi oleh jenis-jenis karang masif seperti P.lutea dan beberapa jenis karang lainnya yang umumnya mampu beradaptasi terhadap tingginya kekeruhan dan salinitas yang rendah.
Perubahan kualitas perairan baik secara langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi kondisi terumbu karang (Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011). Pencemaran yang berasal dari daratan secara tidak langsung akan mengubah kualitas perairan sehingga dapat merusak terumbu karang. Penebangan hutan, perubahan tata guna lahan telah melepaskan sedimen dan bahan pencemar dari buangan industri, rumah tangga, dan zat-zat penyubur lainnya melalui sungai-sungai besar (Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011).
Secara umum peningkatan suhu perairan akan meningkatkan laju pertumbuhan karang. Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976) dalam Rani dkk, 2004, karang hidup optimal pada batas toleransi tertentu terhadap suhu yaitu pada kisaran 25-29 C, meskipun demikian beberapa jenis karang dapat hidup pada suhu minimum 14 C dan beberapa jenis lainnya ditemukan pada suhu maksimum 36-40 C, namun laju pertumbuhannya sangat menurun.

4. Reproduksi
Tomascik & Sander (1987) dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo (2011) menemukan karang Porites yang hidup di perairan yang mengalami eutrofikasi memiliki kemampuan reproduksi yang lebih rendah dibanding perairan alami.

  • Reproduksi Secara Aseksual
Reproduksi aseksual dilakukan dengan jalan membentuk tunas atau secara fragmentasi. Pembentukan individu baru dengan jalan membentuk tunas dilakukan dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Tunas baru biasanya tumbuh dipermukaan bawah atau pada bagian pinggir dan akan melekat sampai ukuran tertentu, kemudian akan melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu baru. Pembentukan individu baru dapat pula dilakukan dengan jalan pembelahan diri dari individu yang lama (Suharsono, 1984).
Reproduksi aseksual dengan cara fragmentasi dapat terjadi karena perusakan sebagian dari koloni akibat faktor fisik misalnya arus dan gelombang, atau karena faktor biologi misalnya ada predator atau bi-natang penggali karang yang dapat menye-babkan sebagian dari koloni karang terpisah dari induk koloni. Pecahan koloni karang ini akan beradaptasi terhadap lingkungan yang baru dan tumbuh menjadi koloni yang baru. Fragmentasi lebih sering terjadi pada koloni yang mempunyai kecepatan tumbuh tinggi, dan cabang-cabang dari koloni akan lebih mudah patah oleh gangguan fisik maupun oleh sebab-sebab biologis. Reproduksi dengan cara fragmentasi sangat penting untuk penyebaran secara lokal. Fragmentasi dari jenis-jenis karang dengan kecepatan tumbuh yang tinggi akan menghasilkan dominasi suatu jenis pada suatu area, dan jika terjadi kerusakan maka akan cepat pulih kembali (HIGHSMITH 1982).

  • Reproduksi Secara Seksual
Gametogenesis
Proses reproduksi secara seksual dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya garnet masak, proses ini biasa disebut sebagai gametogenesis. Gamet karang batu berkembang di dalam mesoglea di bagian tepi, dekat septa rongga perut yang berupa jaringan yang tipis. Selanjutnya jika jaringan tipis ini berkembang menjadi gamet jantan maka prosesnya disebut sebagai spermatogenesis, dan disebut oogenesis jika berkembang menjadi gamet betina. Pada fase awal perkembangan sulit sekali dibedakan apakah calon gamet ini akan berkembang menjadi gamet jantan atau betina. Pada spermatogenesis jumlah dan ukuran sel akan bertambah, tetapi sel spermatosit masih tetap terlihat sebagai kelompokan sel interstiil. Spermatosit akan mempunyai warna yang karakteristik jika diwarnai dengan hematoksilin. Afinitas terhadap hematoksilin akan bertambah besar pada fase berikutnya, karena bertambahnya asam neukleat di dalam inti sel. Spermatosit akan semakin bertambah banyak dan berubah bentuknya menjadi agak kecil. Akhirnya berubah menjadi spermatozoa dengan ekor yang panjang. Spermatozoa berbentuk bulat panjang dengan ukuran panjang 2 μm — 10 μm tidak termasuk ekornya.

Tanda yang karakteristik adalah adanya mitokondria tunggal dengan gelembung lemak terletak di dasar inti. Spermatosit dan spermatozoa selalu tersusun dalam bentuk tandan yang disebut spemaria. Keutuhan tandan dipelihara oleh garis mesoglea (RINKEVICH & LOYA 1979; FADLALLAH & PEARSE 1982). Pada fase terakhir sesudah menjadi sperma, epithellium endodermal menipis, akhirnya pecah dan sperma masuk ke dalam rongga perut. Pada oogenesis fase awal, oogonia berada di sepanjang lamella mesoglea. Sel oogenia ini berderet dengan inti dan anak inti yang besar. Diameter oogenia yang terkecil ± 5 μm. Pada fase ini sitoplasma masih sedikit dan berada di sekeliling inti yang besar. Vitellogenesis (pembentukan kuning telur) dimulai sesudah oogenesis masuk ke dalam mesoglea. Selanjutnya volume sitoplasma bertambah seiring dengan bertambahnya ukuran inti. Akhirnya oosit mencapai kematangan. Telur yang masih berbentuk bulat, letak inti tidak simetris, sitoplasma ditaburi oleh kuning telur dan mitokondria. Pada Porites lutea telur mulai berkembang lebih awal dari pada spermatozoa. Pada beberapa jenis karang sesudah telur masak ada yang langsung dikeluarkan dan pada jenis yang lain telur dierami terlebih dahulu di dalam rongga perut (Suharsono, 1984).

Pelepasan telur dan planula
Masing-masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur dan planula-nya. Beberapa jenis ada yang musiman, bulanan atau sepanjang tahun. Kata planula diguna-kan untuk memberi nama larva karang. Masing-masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur atau planula-nya. Karang tertentu melepaskan telur yang belum dibuahi, dan pembuahan terjadi di luar. Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya kemudian dierami untuk beberapa saat, dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula. Porites lutea melepaskan garnet beberapa minggu sampai beberapa bulan di musim panas. Sebagian besar telur dilepas-kan pada saat bulan purnama. Perkembangan gonad dan planula yang tertinggi terjadi pada musim dingin dan terendah di musim panas (Suharsono, 1984).

Perkembangan planula
Setelah dilepaskan dari induknya, larva untuk sementara waktu berenang-renang secara bebas yang kemudian akan melekat pada suatu subtrat yang keras dan tumbuh menjadi individu karang yang sempurna. Lamanya hidup bebas ini bervariasi. Ada yang selama dua atau tiga hari, ada yang tetap berenang dan tidak melekat untuk satu minggu atau satu bulan (RICHMOND 1981; RINKEVICH & LOYA 1979). Planula yang dilepaskan dari induknya tidak selalu dalam keadaan sempurna. Ada beberapa planula yang dilepaskan sudah dapat berenang dan sebagian lagi baru dapat berenang dalam waktu beberapa hari setelah dilepaskan. Lubang mulut planula terletak disalah satu ujung, dan ujung yang lain disebut aboral epidermis. Struktur internal planula sama dengan individu dewasa yaitu mempunyai flagella yang panjang, ektoderm, mesoglea dan endoderm dengan zooxanthella. Jaringan aboral epidermis terdiri dari epitel, kolumner yang pendek yang tersusun tidak teratur, nematosit, sel sekretori dan sel mukosa. Flagella tampaknya merupakan sel sensori oleh karena terlihat adanya mahkota mikrofilli yang mengelilinginya. Di bawah sel epitel kolumner terdapat jaringan sel syaraf sehingga diduga aboral epidermis digunakan sebagai selektor untuk mencari tempat melekat (VANDERMEULEN 1974).
Planula makan dengan cara mencernakan partikel makanan yang ditangkap oleh mukosa atau dengan silia putar. Adanya silia putar dapat menghantarkan partikel makanan lewat dari aboral ke arah mulut. Aktivitas makanan planula mungkin tidak diperlukan oleh karena ketika dilepaskan ia masih mempunyai cadangan kuning telur dalam rongga perutnya. Simpanan yolk (kuning telur) ini mungkin cukup untuk berkembang sampai melekat dan bermetamorfosis (FADLALLAH 1983). 
Planula hanya memerlukan energi dalam jumlah yang sangat sedikit. Sumber energi dapat juga diperoleh dari zooxanthella yang ada di dalam jaringan tubuhnya. Kira-kira 13% - 27% karbon yang ditangkap oleh zooxanthella selama fotosintesis dipindahkan ke jaringan planula. Pemindahan ini tergantung pada kondisi ling-kungan seperti cahaya matahari dan suhu (RICHMOND 1981). Adanya cadangan makanan yang dibawa dari induknya dan energi yang diperoleh dari zooxanthella memungkinkan planula dapat tetap tinggal dalam bentuk planktonik untuk waktu yang cukup lama dan dapat berenang dalam jarak yang cukup jauh. Selama fase awal gerakkannya cepat 1 - 3 cm/detik. Gerakannya turun naik dan menunjukkan adanya keteraturan. Aktivitas gerakan berkurang dan menjadi tidak teratur sesuai dengan tingkat pertumbuhan planula (TRANTER et al. 1982).

Pelekatan dan metamorfosis
Planula karang mengalami metamorfosis sebagian sebelum melekat. Pada umumnya terjadi dua perubahan yaitu : invaginasi, ektoderm yang akan menjadi lubang yang akhirnya menjadi mulut dan stomodeum. Endodermal berlekuk-lekuk membentuk rigi-rigi internal yang akhirnya akan menjadi septa pertama. Perkembangan yang sempurna dari mulut, stomodeum dan septa pertama akan terjadi setelah planula melekat. Planula karang tidak melekat pada setiap tempat. Planula karang dengan aktif memilih tempat untuk melekat dengan aboral epidermis. 
HARRIOT (1983) mengamati bahwa substrat yang telah dilapisi oleh filamen merupakan tempat yang disukai oleh larva karang. Walaupun karang-karang yang dewasa ada yang hidup bebas pada subtrat yang lunak, tetapi planulanya tetap memerlukan tempat yang keras untuk melekat. Mungkin tempat yang keras untuk melekat tersebut diperlukan agar dapat terjadi pelekatan secara adesif antara struktur skeleton karang dan subtrat. Setelah planula karang melekat, maka seluruh sel epidermis yang berbentuk pipih (VANDER-MEULEN 1975). Pergantian ini berjalan dalam waktu yang relatif cepat.
Planula karang menunjukkan sifat fototropisme negatif dan geotropisme positif pada waktu melekat. Hal ini tampaknya merupakan suatu hal yang berlawanan oleh karena karang secara tidak langsung memerlukan sinar matahari. Fototropis negatif tampaknya merupakan suatu hal yang lebih penting dari faktor lainnya untuk mempertahankan hidupnya (FADLALLAH 1983). Menghindarkan diri dari pemangsa dan sedimentasi merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan tingkah laku untuk melekat. Selanjutnya planula akan mengalami perubahan organ-organ tubuhnya dan menjadi individu karang yang sempurna (Suharsono, 1984).

Pengaruh faktor luar terhadap reproduksi
Faktor fisik, kimia dan biologis ketiga-tiganya dapat mempengaruhi proses reproduksi. Beberapa faktor luar yang mempengaruhi antara lain suhu, salinitas, arus air turbulensi, kekeruhan, macam subtrat tem-pat tumbuh, sebaran geografis, pencemaran minyak, siklus bulan dan lain-lain. Perubahan suhu merupakan hal yang sangat penting bagi invertebrata laut terutama yang hidup di daerah subtropik. Masing-masing jenis invertebrata mempunyai suhu kritis untuk bereproduksi terutama yang berhubungan dengan sebaran geografik. Suhu di daerah tropik secara musiman hanya bervariasi beberapa derajat sedang di subtropik perubahannya relatif besar (Suharsono, 1984).
Individu karang yang dewasa mempunyai toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan salinitas, sedang untuk pelepasan dan perkembangan planula memerlukan kisaran salinitas yang lebih sempit. Perubahan panjang siang dan malam untuk individu yang hidup di daerah tropis tidak berpengaruh banyak, karena hampir sama sepanjang tahun. Pencemaran minyak akan dapat menyebabkan terjadinya kematian larva yang telah dilepaskan terutama jika terjadi kontak langsung dengan zat pencemar (LOYA & RINKEVICH 1980). Rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air dapat pula menyebabkan pelepasan planula. Pemacuan secara biologik untuk mempercepat pelepasan planula dapat dilakukan dengan meletakkan sebagian kecil jaringan gonad pada polip yang berlainan jenis kelamin. Yaitu dengan meletakkan sebagian kecil jaringan gonad jantan di dalam polip betina (SZMANT— FROLICH et al.1980).

5. Adaptasi Lingkungan
Karang Porites mampu beradaptasi di lingkungan keruh melalui adaptasi secara genetik dan fenotip dengan melakukan metabolisme lebih aktif (Meesters et al., 2002 dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011). Hasil ini menunjukkan bahwa komunitas karang keras di perairan yang keruh dan bersalinitas rendah kemungkinan besar didominasi karang P.lutea serta kombinasi kelompok Poritiid lainnya yang mampu beradaptasi di lingkungan yang mengalami tekanan kronis (Munasik dkk., 2000 dalam Munasik dan Rikoh Manogar Siringoringo, 2011).
Polip karang harus mengeluarkan banyak lendir yang digunakan untuk melepaskan butiran-butiran yang mengendap pada tubuhnya (Buddemeier dan Kinzie, 1976 dalam Rani dkk, 2004). Karang Porites merupakan karang yang mampu hidup pada berbagai kondisi Iingkungan seperti pada daerah yang memiliki ragam variasi dalam sedimentasi tinggi, daerah yang mempunyai fluktuasi salinitas yang tinggi (Morton, 1990 dalam Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha, 2006).Disamping itu, genus Porites dapat hidup pada berbagai macam habitat seperti pada daerah yang berbatu, berpasir, dan pada pecahan karang (Sakai dan Yamazato, 1986 dalam Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha, 2006) Peningkatan suhu udara akan meningkatkan laju pertumbuhan (berkorelasi positif), sedangkan peningkatan curah hujan akan menurunkan laju pertumbuhan (berkorelasi negatif) ( Rani dkk, 2004).

6. Feeding Habit
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu :
  1. Menangkap zooplankton yang melayang dalam air
  2. Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae
Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia 2001 dalam Timotius, 2003). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002 dalam Timotius, 2003).
Ada dua mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut:
  1. Mangsa ditangkap lalu tentakel membaw a mangsa ke mulut
  2. Mangsa ditangkap lalu terbawa ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang tentakel
Kesimpulan
Porites lutea termasuk hermatipik bertipe massive dan merupakan salah satu jenis hewan karang pembentuk terumbu. Porites lutea bersimbiosis mutualisme dengan zooxanthellae atau alga simbion yang berada pada jaringan endoderm hewan karang. Pertumbuhan karang massive Porites lutea tergolong dalam pertumbuhan yang lambat karena laju pertumbuhan P. lutea berkisar 5,38-17 mm/th. Rendahnya laju pertumbuhan tersebut dipengaruhi juga oleh beberapa faktor-faktor meliputi; arus, kedalaman, gelombang, salinitas, suhu, sedimen dan kecerahan suatu perairan yang menjadi habitatnya. Ketika terjadi suatu gangguan dalam habitat tersebut, terdapat respon positif dan respon negative.
Reproduksi dari karang Porites lutea terdapat dua cara yaitu secara seksual dan secara aseksual. Secara seksual dengan adanya peleburan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina. Sedangkan secara aseksual dengan pertunasan dan fragmentasi. Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu : menangkap zooplankton yang melayang dalam air, menerima hasil fotosintesis zooxanthellae. Karang Porites merupakan karang yang mampu hidup pada berbagai kondisi Iingkungan seperti pada daerah yang memiliki ragam variasi dalam sedimentasi tinggi, daerah yang mempunyai fluktuasi salinitas yang tinggi.

Daftar Pustaka

  • Babcock, R., & L. Smith. 2000. Effects of Sedimentation on Coral Settlement and Survivorship. In: Barbara A.B., R.S. Pomeroy, & C.M. Balboa (Eds.). Proceeding 9th International Coral Reef Symposium, Indonesia. 23-27 Oktober
  • Done, T.J. 1982. Patterns in the distribution of coral communities across the central Great Barrier Reef. Coral Reefs (1) : 95 – 107
  • FADLALLAH, Y.H. and J.S. PEARSE 1982. Sexual reproduction in Solitary Corals : over-lapping oogenic and brooding cycles, and benthic planulas in Balanophyllia elegans. Mar. Biol. 71 : 223 - 231
  • HARRIOTT, VJ. 1983. b. Reproductive ecology four scleractinian species at Lizard Island. Great Barrier reef. Coral reef 2 (l) : 9 – 18
  • HIGHSMITH, R.C. 1982. Reproduction by fragmentation in corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 7 : 207 – 226
  • Insafitri dan Wahyu Adi Nugraha dan Wahyu Andy Nugraha. 2006. Laju Pertumbuhan Karang Porites lutea . ILMU KELAUTAN Vol. 1 1 (1) : 50 – 53
  • Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Printice-Hall inc
  • Munasik, Rikoh Manogar, Siringoringo Maret. 2011Struktur Komunitas Karang Keras (Scleractinia) di Perairan Pulau Marabatuan dan Pulau Matasirih, Kalimantan Selatan. ILMU KELAUTAN Vol. 16 (1) 49-58
  • Nontji. A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta. Penerbit Djambatan
  • Nybakken, 1. W.1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : PT. Gramedia
  • Rani, Chair., Jamaluddin Jompa, Amiruddin. 2004. Pertumbuhan Tahunan Karang Keras Porites lutea di Kepulauan Spermonde: Hubungannya Dengan Suhu Dan Curah Hujan. Torani, Vol. 14(4) : 195–203. Issn: 0853-4489
  • RICHMOND, R.H. and P.L. JOKIEL 1984. Lunar periodicity in larva release in the reef coral Pocillopora damicornis at Enewetak and Hawaii. Bull Mar. Sci. 34 (2): 280-287
  • RINKEVICH, B. and LOYA. Y. 1979. The reproduction of the Red Sea coral Stylophora pistillata I. Gonads and planulae
  • Souhoka, Jemmy. 2009. Kondisi Dan Keanekaragaman Jenis Karang Batu Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah. Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries Sciences)XI (1): 54-65 ISSN: 0853-6384
  • Suharsono. 1984. Reproduksi Karang Batu. Jurnal Oseana. Vol. IX (4) : 116 – 123
  • Suharsono. 1998. Condition of coral reef resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan 2: 60-72
  • Sukarno. 1983. Terumbu Karang di Indonesia : Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta : 109 hal
  • Susintowati. 2008. Analisis Jumlah dan Indeks Mitosis Zooxanthellae Pada Porites lutea Akibat Infeksi Cacing Karang Serpulid. Jurnal inovasi pendidikan. Vol. I : 50-57
  • SZMANT-FROELICH, A; P. VEVICH and M.E.Q. PILSON 1980. Gametogenesis and early development of the temperate coral Astrangia danae (Anthozoa : Scle-ractinia). Biol. Bull. 158 : 257 - 269
  • TRANTER, P.R.G., D.N. NICHOLSON and D. KENCHINGTON 1982. A description of spawning and post-gastrulla develop-ment of the cool temperate coral, Caryo-phyllia smithi. J. Mar. Biol. Ass. U.K. 62 : 845 - 854
  • VANDERMEULEN, J.H. 1974. Studies on reef coral II. fine structure of planktonis planula larva of Pocillopora damicornis, with emphasis on the Aboral epidermis. Mar. Biol. 31 :69-77
  • WELLS, J.W. 1956. Scleractinia. In R.C. MOORE (ed) Treatise of Invertebrate Paleontology: (F) Coelenterata : 328 -444
  • WIJSMAN-BEST, M. 1977 Intra and Extratentacular budding in hermatypic. Coral reef symp. Miami: 471 — 474.

Thanks For Reading

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

11 Instansi Pemerintah yang Menerima Magang Mahasiswa Perikanan dan Kelautan

Assalamualaikum Kerja praktek adalah salah satu rangkaian dari tugas akhir (TA), kerja praktek ini biasa dilakukan pada mahasiswa semester 5 ke atas, khususnya untuk mahasiswa eksakta seperti perikanan dan kelautan kerja praktek adalah prasyarat untuk mengambil seminar penelitian dan skripsi. Berikut 11 instansi-instansi pemerintah yang menerima mahasiswa perikanan dan kelautan untuk magang, kerja praktek dan penelitian. Bidang Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) 1. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA LAPAN) Tema: 1. Pesisir dan Laut (Pulau Kecil Terluar, Mangrove dan Terumbu Karang), 2. Perikanan (Zona Potensial Penangkapan Ikan, Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a). Alamat: Jl. Kalisari No. 8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710 Telp. (021) 8710065 Fax. (021)8722733 Website: http://pusfatja.lapan.go.id/ 2. Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Tema: 1. Pasang Surut, 2. Suhu Permukaan laut, 3. Peta Daerah penangkapan Ik

Membuat Peta Lokasi Penelitian Menggunakan ArcGis 10

Assalamualaikum... Setelah melihat beberapa kali seminar proposal, ada satu hal yang membuat saya merasa ada sesuatu yang kurang dari proposal penelitian-penelitian itu, padahal saya belum seminar proposal. hehe. Langsung saja ya, sebenarnya sesuatu yang sederhana yaitu PETA LOKASI PENELITIAN... Peta yang dibuat dan digunakan pada proposal penelitian menurut saya belum standar, KENAPA ? Karena syarat-syarat peta di Proposal Penelitian tersebut tidak terpenuhi, contohnya tidak ada arah mata angin, keterangan titik penelitian, graticul dan lain lain... contoh petanya kaya gini. PETA LOKASI PENELITIAN     Dari contoh gambar diatas, kemudian pasti kita akan bertanya-tanya, contoh pertanyaan yang simple saja lah, lokasi penelitiannya pada derajat berapa ya ? hehe...  Nah, maka dari itu kemudian saya tertarik untuk menulis tentang Cara Membuat Peta Lokasi Penelitian Menggunakan ArcGis. Tulisan saya kali ini, InsyaAllah akan lebih ke Tutorial bagaimana cara pembuatan

Rantai Makanan pada Ekosistem Terumbu Karang

PENDAHULUAN Konsep ekosistem merupakan suatu konsep yang kompleks, karena di dalamnya terjadi hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara komponen-komponen penyusunnya, yang membentuk hubungan fungsional dan tidak dapat dipisahkan. Di dalam sebuah ekosistem terjadi transfer energi antara komponennya yang bersumber dari sinar matahari melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan hijau berklorofil. Makhluk hidup lain yang tidak memiliki kemampuan berfotosintesis, menggunakan energi matahari dengan cara mengkonsumsi produsen (organisme yang dapat melakukan fotosintesis) dan begitu selanjutnya sehingga terbentuk suatu rantai makana. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis. Ekosistem ini memiliki produktivitas organic yang sangat tinggi (Burke et al, 2002). Demikian pula dengan keanekaragaman biota yang ada didalamnya. Di tengah samudra yang miskin bisa terdapat pulau karang yang produktif hingga kadang-kadang terumbu ka